Memecah Sunyi: Menyoroti Kekerasan Seksual di Kampus

Ditulis oleh Alvita Nur Nathania Yusidjaya & Hesti Rosita

Hallo Genrengers! Gimana nih kabar kalian? Lancar-lancar kan ya kuliahnya? Semangat terus ya, Genrengers! Pada kesempatan kali ini, kita mau membahas mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus yang akhir-akhir ini marak terjadi. "Memecah Sunyi" adalah sebuah frasa yang kuat yang menggambarkan kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah kekerasan seksual di kampus yang sudah terlalu lama terdiam.

Pengertian dari kekerasan seksual itu sendiri merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat dikategorikan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, maupun daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

        Lingkungan kampus seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung perkembangan akademik dan kepribadian mahasiswa. Namun, kasus kekerasan seksual masih marak terjadi di dalamnya. Beberapa faktor penyebab terjadi kekerasan seksual di lingkungan kampus di antaranya:

1.      Ketidaksetaraan gender

Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, dimana terdapat stereotip gender bahwa perempuan sering dipandang sebagai pihak yang lemah, sehingga sering mengalami eksploitasi. Ketidaksetaraan gender juga tercermin dalam budaya patriarki, dimana kali-laki memiliki kendali besar atas keputusan perempuan. Selain itu, adanya norma-norma sosial yang merendahkan perempuan atau memaklumi sikap agresif laki-laki yang dapat memperburuk situasi.

2.      Pendidikan seksual yang kurang memadai

Adanya individu yang tidak mengerti tentang batasan dan hubungan yang tidak sehat dikarenakan edukasi yang masih minim. Edukasi yang minim dapat menimbulkan perilaku yang merugikan orang lain. Kurang memadainya pendidikan tentang hak-hak seksual dan kesetaraan gender dapat membuat norma-norma yang mendukung kekerasan seksual sulit untuk dihilangkan.

3.      Budaya pergaulan yang tidak sehat

Budaya pergaulan yang tidak sehat seperti sikap agresif, mengonsumsi alkohol berlebihan, atau tekanan dari kelompok dapat membuat individu terpaksa untuk melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Budaya pergaulan yang mengagungkan maskulinitas secara berlebihan atau menjadikan objek seksual sebagai bentuk dominasi acapkali menormalisasikan kekerasan seksual dan membuat korban merasa sulit untuk melawan ataupun melapor tindak kekerasan seksual.

            Kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat memberikan dampak psikologis dan fisik terhadap korban. Dampak psikologis korban kekerasan seksual seperti mengalami trauma yang mendalam, stress yang mengakibatkan terganggunya fungsi dan perkembangan otak. Sedangkan, dampak fisik yang dirasakan korban seperti terjangkitnya penyakit menular seksual (PMS), mengalami pendarahan dan luka internal, dan yang paling parah yaitu kerusakan pada organ internal.

    Korban kekerasan seksual di lingkungan kampus menghadapi beberapa tantangan dalam melaporkan kasus tersebut. Berikut adalah beberapa tantangan yang umum ditemukan:

·         Ketakutan dan Ketidakberdayaan: Korban seringkali takut melapor karena khawatir akan ancaman dari pelaku atau reputasi diri yang akan terjelekkan. Hal ini dapat membuat mereka merasa tidak aman dan tidak berdaya.

·         Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman: Banyak korban tidak memahami definisi kekerasan seksual atau tidak menganggap tindakan tersebut sebagai kekerasan seksual. Hal ini dapat menyebabkan mereka tidak melaporkan kasus tersebut.

·         Kurangnya Dukungan dan Perlindungan: Korban seringkali tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari pihak kampus atau pihak lain. Hal ini dapat membuat mereka merasa tidak dihargai dan tidak didukung dalam proses melaporkan kasus.

·         Kultur Stigma dan Tabu: Kekerasan seksual sering dianggap sebagai masalah pribadi atau tabu, sehingga korban merasa malu untuk melaporkan kasus tersebut. Hal ini dapat menyebabkan mereka bungkam dan tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual.

·         Proses Melaporkan yang Rumit: Proses melaporkan kekerasan seksual di kampus seringkali rumit dan memakan waktu lama. Hal ini dapat membuat korban kehilangan motivasi untuk melaporkan kasus tersebut karena tidak adanya hasil yang cepat dan efektif.

Dengan demikian, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang kekerasan seksual, serta memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan yang cukup dan perlindungan yang efektif dalam proses melaporkan kasus tersebut.

Dalam upaya pencegahan dan menangani kekerasan seksual di kampus memerlukan keterlibatan semua pihak mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan pengelola perguruan tinggi. Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan sama-sama memiliki peran dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, di antaranya yaitu: (1) mengikuti kegiatan yang positif seperti diskusi atau mengadakan kegiatan yang menyangkut isu-isu hak asasi manusia dan menolak adanya kekerasan seksual; (2) mengikuti sosialisasi tentang langkah-langkah anti kekerasan seksual dan cara melaporkan PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di perguruan tinggi; (3) menerapkan relasi yang sehat baik didalam kampus maupun diluar kampus dengan sesama mahasiswa atau pun dosen dan tenaga kependidikan lainnya; dan (4) menerapkan komunikasi yang baik dan saling menghormati.

Selain itu, perguruan tinggi juga terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Pengelola perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas dari kekerasan seksual, meliputi: (1) menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang aman, mekanisme pengaduan yang aman, serta tanda peringatan “area bebas dari kekerasan seksual”; (2) menyediakan mata kuliah dan seminar yang membahasa mengenai keadailan dan kesetaraan gender; (3) memberikan mekanisme pemulihan bagi korban dan sanksi yang tegas bagi pelaku; (4) mengomunikasikan langkah-langkah yang diambil dalam penanganan laporan kekerasan seksual kepada seluruh warga kampus; (5) menyediakan laporan tahunan yang terbuka untuk umum mengenai program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual; (6) menjaga kerahasiaan identitas pelapor dan korban; dan (7) melakukan sosialisasi, pelatihan, dan evaluasi berkala dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan inklusif tanpa kekerasan seksual, beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

  1. Menghargai Perbedaan: Setiap orang memiliki perbedaan dan keunikan. Menghargai perbedaan dan tidak membeda-bedakan satu sama lain adalah penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif.
  2. Membangun Kesadaran: Meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kekerasan seksual dan pentingnya melawan dan mencegahnya
  3. Menciptakan Ruang yang Ramah:

·         Menciptakan ruang belajar yang ramah dan aman bagi semua orang

Dengan cara memperketat pertemuan antara mahasiswa dengan dosen dan tenaga kependidikan tanpa persetujuan ketua prodi, terutama jika pertemuan tersebut dilakukan di luar area kampus atau jam operasional kampus.

·      Menggunakan sumber daya seperti program mentoring, konseling, dan layanan disabilitas untuk mendukung mahasiswa dari semua latar belakang.

"Stop kekerasan sosial di kampus Kita semua memiliki hak untuk belajar dalam lingkungan yang aman dan nyaman."

"Kita tidak boleh mengizinkan kekerasan seksual. Mari kita jadikan kampus sebagai tempat yang mendukung dan ramah."

Sumber:

https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ppks/kekerasan-seksual/

https://law.ui.ac.id/bahaya-dampak-kejahatan-seksual/#:~:text=Pertama%2C%20dampak%20psikologis%20korban%20kekerasan,Penyakit%20Menular%20Seksual%20(PMS)

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS POKOK dan FUNGSI HUMAS PIK-R AKSIOLOGI UNSOED

NGINTIP CIRI-CIRI ANTI-MAINSTREAM GENERASI STRAWBERRY! YUK KENALAN!

Ketidaksetaraan Gender dalam Akses Kesehatan Reproduksi