(KITA) HANYA MANUSIA BIASA

    “Aku bukanlah superman, aku juga bisa nangis” merupakan lirik lagu yang dulu sering sekali kita dengarkan di acara-acara musik televisi. Apa yang bisa kita tahu dari penggalan lirik tadi? Bisa disimpan dulu ya..

Hai, semuanya! Selamat datang kembali di AKSARA a.k.a Aksiologi Bersuara di blog PIK-R kesayangan kita tentunya, PIK-R Aksiologi. Kali ini kita mau bahas yang mungkin sedikit lebih berbeda dengan pembahasan sebelumnya dan isu mayoritas. Di era modernisasi ini, isu-isu gender tengah gencar diperjuangkan. Kita tahu, sebelum ada isu Omnimbus Law, bergerak juga isu RUU PKS yang tidak disahkan sesuai apa yang diinginkan masyarakat. Penegakan hukum dan perjuangan kesetaraan gender masih terus diperjuangkan. Ini berarti menunjukan bahwa ada semangat toleransi di sekitar kita, bukan? Tentu bagus sekali, tapi apakah sudah benar-benar ada toleransi yang berlaku?

Kali ini kita akan membahas mengenai isu toleransi perspektif gender, antara laki-laki dan perempuan. Kalian pernah dengar istilah toxic masculinity? Ini merupakan fenomena yang masih terjadi di kalangan kita. Laki-laki merupakan makhluk yang kuat, namun apakah ada batas kelemahan dan kesetaraan dari seorang pria?  

Oke, mari kita refleksikan, menurut Genrengers laki-laki itu sosok yang seperti apa? Kuat? Sporty? Macho? Berkharisma? Aktif secara seksual? Semua itu sebenarnya relatif dan mungkin sebagian besar benar. Namun, bagaimana pandangan teman-teman terkait laki-laki yang pandai memasak? membereskan pekerjaan rumah? Sentimental? Sejak dahulu, laki-laki terus diajarkan menjadi sosok yang tangguh. Melakukan hal-hal berat dan kita juga terus didoktrin mengenai pengotakan peran ataupun apa-apa yang diboleh dan tidak bagi laki-laki dan perempuan.

Satu hal yang perlu kamu ketahui, istilah maskulin sendiri lahir dari budaya patriakisme. Budaya ini subur di negara kita, dengan ciri khasnya yaitu mengagungkan status lelaki sebagai pemimpin keluarga, kuat, dan dominan. Yang artinya, maskulinitas adalah bentuk konstruksi sosial. Masyarakat kitalah yang membentuknya, bukan diri kita sendiri. Bila kamu terlahir memiliki penis, kamu otomatis menjadi pria, dan pria harus maskulin. Kamu harus berpenampilan macho, tidak cengeng, bersuara tegas, ekstrovert, memiliki jiwa kepemimpinan, dan harus selalu dominan dalam berbagai hal.

Di tengah lingkungan sosial yang patriakis ini, orang-orang selalu menuntut hal-hal maskulin dari seorang lelaki. Bila kamu tidak menuruti tuntutan mereka, kamu akan dicap tidak laki. Banci. Lemah. Dari situlah “Toxic masculinity” muncul. Istilah ini baru diterapkan pada tahun 1990an oleh pakar psikologis, Shepherd Bliss. Baginya, penggunaan istilah ini penting untuk membedakan nilai positif dan negatif dari istilah ‘maskulinitas.’ Shepherd melihat adanya dampak negatif dari maskulinitas yang bisa merusak hidup seorang lelaki, dan bahkan bisa menyebabkan depresi hingga bunuh diri.

Dilansir dari Kompas.com, kita tahu beberapa contoh sifat dan perilaku toxic masculinity, diantaranya,.

1.       Tidak boleh mengeluh, apalagi menangis.

2.       Keras saat bertindak kepada orang lain.

3.       Menunjukan dominasi dan kekuasaan terhadap orang lain.

4.       Mengagungkan tindakan berisiko, seperti menyetir kendaraan dengan kecepatan tinggi dan mengonsumsi obat terlarang.

5.       Enggan untuk melakukan aktivitas yang dianggap hanya milik perempuan, seperti memasak, menyapu rumah, berkebun, dan mengasuh anak.

Toxic masculinity dapat berbahaya karena membatasi definisi sifat seorang pria dan mengekang pertumbuhannya dalam bermasyarakat. Pembatasan definisi tersebut dapat menimbulkan konflik dalam dirinya dan lingkungan pria tersebut. Toxic masculinity juga memberikan beban pada laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas.

Apabila seorang pria dibesarkan melalui pandangan sempit toxic masculinity, ia akan merasa bahwa ia hanya bisa diterima masyarakat dan lingkungannya jika menunjukkan perilaku beracun tersebut. Dari contoh atas, misalnya, beberapa pria diajarkan untuk tidak menunjukkan kesedihan atau tangisan. Menunjukkan rasa sedih dan menangis dianggap sebagai karakteristik feminin dan hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Ajaran tersebut tentu berbahaya bagi kesehatan mental (dan fisik) kaum laki-laki bahwa menahan emosi menimbulkan kerentanan untuk mengalami depresi. Gawatnya, mencari pertolongan ahli kejiwaan juga dianggap karakteristik feminin, sehingga laki-laki dilaporkan lebih jarang untuk menemui psikolog atau psikiater karena ‘gengsi’.

Tiap orang itu unik dan berbeda, begitu juga dengan lelaki. Ada yang fenimim, ada yang fisiknya lemah, suaranya lembut, fisiknya tidak manly, dan introvert. Tidak ada yang salah dengan itu semua, jadi hargailah mereka. Dan tidak usah malu menunjukkan emosimu. Menangis itu tidak apa, begitu juga dengan malu. Kamu tetap lelaki kok walaupun lebih ekspresif.

Ada masalah di hidupmu? Jangan dipendam, lepaskan semua beban negatifmu, sampaikanlah. Untuk kita semua, sepantasnyalah kita saling membantu dan meringankan beban rekan kita, bisa dengan menjadi teman curhat dan minimal tidak mem-bully. Dan, tetaplah menjadi dirimu yang apa adanya dan hormati siapapun yang ada. Salam sehat dan tentu saja SALAM GENRE!

 

Sumber :

Goodmen Indonesia “Toxic Masculinity, Hal ‘Kecil’ yang Bisa Merusak Hidup Pria” (goodmen.id)

Kompas.com “Toxic Masculinity dan Dampaknya Bagi Kesehatan Mental” (lifesyle.kompas.com)

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS POKOK dan FUNGSI HUMAS PIK-R AKSIOLOGI UNSOED

NGINTIP CIRI-CIRI ANTI-MAINSTREAM GENERASI STRAWBERRY! YUK KENALAN!

Ketidaksetaraan Gender dalam Akses Kesehatan Reproduksi